"saat saya menjadi gila akan tulisan . . ." :D

Minggu, 23 Agustus 2009

Seandainya Aku MAhluk Bumi !!

Namaku Asa. Asalku Planet Harapan di Galaksi Andromeda. Aku mendapat predikat summa cum laude untuk studiku dalam bidang Hubungan Intergalaktik. Aku bahagia sekali karena setelah berkali-kali menempuh rapat dan perundingan yang alot, akhirnya Dewan Bijak di galaksiku mengabulkan keinginanku untuk melakukan penelitian intergalaktik sosial di galaksi tetangga, Bimasakti. Syaratnya hanya satu, selama aku berada di galaksi tetangga itu, aku harus mengenakan invisible mode. Aku tak keberatan.

Mulailah perjalananku menuju Bimasakti yang jaraknya 2.200.000 tahun cahaya dari galaksiku. Tapi percayalah, untuk kami hal itu bukan masalah. Aku melihat banyak bintang. Kabarnya ada 400 juta bintang di Bimasakti. Aku melewati banyak tata surya, tidak semua kusinggahi. Tapi ada satu tata surya yang kusinggahi dan tak akan kulupakan. Nama bintangnya Matahari. Planet-planet di dalamnya telah kuteliti, dengan mendarat ataupun hanya fly by. Dari yang paling luar dan besar-besar ukurannya: Neptunus, Uranus, Saturnus, dan Jupiter yang raksasa.

Setelah planet-planet gas, perjalananku membawaku ke planet-planet batuan. Ukurannya tidak sebesar planet-planet gas, malah kecil-kecil. Aku singgah di Planet Merah, Mars. Disebut demikian karena daratannya yang merah. Singgahku tak lama disana karena hawanya yang terlalu dingin tak cocok untukku. Aku lanjutkan perjalananku. Kulihat planet terdekat, Bumi. Sudah lama aku menyimpan hasrat yang besar akan planet ini. Kupikir aku akan menyimpannya untuk yang terakhir, aku ingin singgah lebih lama dan menjelajahi berbagai tempat yang mungkin.

Lalu aku menuju Venus yang katanya cantik. Belum sampai aku mendarat di atasnya, aku sudah tak kuat karena panasnya. Lagipula, hawa disini tak baik untukku. Bisa-bisa aku keracunan dan tak bisa pulang. Aku menuju Merkurius. Walaupun lebih dekat dengan Matahari, cuaca disini tak sepanas di Venus. Tak banyak yang bisa kukerjakan di planet yang penuh kawah ini. Aku pun menuju perhentian terakhir di Tata Surya ini: Bumi.

Disebut juga sebagai Planet Biru karena cairan berwarna biru mendominasi 2/3 permukaannya. Ya, air! Disini aku bisa bernafas dengan nyaman. Ditambah lagi hawanya tidak panas, tidak juga dingin. Tampaknya Bumi merupakan satu-satunya planet di Tata Surya ini yang mendukung kehidupan. Benar akan apa yang guru alamku ajarkan tentang planet layak huni. “Di bintang, ada daerah disekitarnya dimana air dalam bentuk cairan bisa ditemukan dipermukaan planetnya. Daerah ini dikenal sebagai Habitable Zone atau daerah pendukung kehidupan. Planet-planet yang berada dalam rentang Habitable Zone ini merupakan kandidat planet-planet layak huni. Planet tersebut akan diindikasikan sebagai planet layak huni kalau ia memiliki air dalam bentuk cair. Itu klasifikasi awal dari planet layak huni.”

Mendarat di Bumi, aku sangat bergairah dan tak sabar ingin segera menjelajahi banyak tempat. Saatnya kuturuti nafsu petualangku, kuawali dari Utara. Kurasakan lapisan putih yang dingin, ada yang beku dan keras, ada yang lembut. Beberapa hari kuhabiskan disana, hanya kutemui beberapa makhluk seperti diriku. Kupikir betapa beruntungnya sedikit orang ini memiliki planet yang nyaman seluas ini hanya untuk mereka. Pada saat yang sama aku bingung, karena hampir setiap hari aku melihat bongkahan putih yang padat itu runtuh atau lepas dari satuannya. Kadang hanya sedikit yang runtuh, tapi kadang dalam satuan yang besar. Ada yang tidak beres disini. Aku harus meneliti apa yang terjadi. Bukankah hal ini akan menyebabkan ketidakseimbangan alam, dalam hal kondisi cuaca. Jangan-jangan sedang terjadi pemanasan di Bumi. Kasihan orang-orang ini, bisa-bisa beberapa puluh tahun lagi mereka hidup dalam kesusahan, kalau masih belum punah. Kusimpan hal ini sebagai laporan kajianku.

Dari sana aku beranjak ke selatan dan singgah ke negara bernama Adidaya. Dengan bangunan-bangunan tingginya, negara itu sangat bagus. Aku melihat berwarna-warni manusia, kebanyakan berwarna putih. Di Adidaya aku dapat melihat dari dekat banyak teknologi yang kuketahui dari pelajaran sejarah sekolah dasarku. Teknologi seperti peradabanku beberapa ribu tahun yang lalu. Sangat menarik. Lalu aku melihat rumah putih besar yang berdiri megah, mungkin rumah duta besar Bumi. Tadinya kupikir aku akan berkenalan dengan duta besar Bumi, walaupun menyalahi persyaratan kunjunganku kemari. Siapa tahu aku bisa mengawali persahabatan antar galaktik. Ternyata orang-orang di dalamnya sibuk sekali hingga membuatku sungkan untuk melangsungkan niatku. Semua bekerja dengan wajah tegang. Aku tidak nyaman dengannya. Kalau begitu pastilah bukan rumah duta besar Bumi karena sepengetahuanku Duta Besar pastilah orang-orang yang bersahabat. Aku pun memutuskan pergi melihat tempat lain.

Sekejap kemudian aku sampai di hamparan tanah luas yang menantang. Aku lihat bermacam-macam mahkluk yang disebut hewan. Mereka berlari-larian, berguling-guling di tanah, menikmati rerumputan. Ah, damai sekali disini, walau agak panas cuacanya. Baru saja kuingin rebahkan tubuhku di atas rerumpunan, terdengar suara gaduh dikejauhan.

“Dor..dor..dor..”, seperti suara senjata jahanam yang di peradabanku telah ditinggalkan jutaan tahun yang lalu karena dampaknya yang buruk untuk kehidupan. Benar saja, orang-orang berwarna hitam, laki-perempuan-tua-muda, berlarian sambil menjerit-jerit dikejar makhluk sesamanya dengan wajah-wajah beringas. Orang-orang itu menangis-nangis ketakutan. Begitu juga diriku. Belum pernah kulihat keberingasan sedekat ini. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku ingin segera tinggalkan tempat ini.

Aku tiba di tempat yang penuh dengan reruntuhan dan puing-puing bangunan. Banyak orang-orang berseragam menyandang senjata jahanam. Ada juga orang-orang tak berseragam yang wajahnya tanpa ekspresi. Perasaanku tidak enak. Benar saja, tak lama kemudian ada mobil melaju kencang dan meledak menghancurkan apa yang ada di dekatnya. Suasana menjadi huru-hara. Apa yang sebenarnya terjadi di planet paling nyaman dalam Tata Surya ini, tanyaku dalam hati.

Aku pergi ke Selatan. Kuketahui kemudian namanya Nusantara. Dari atas tampak alamnya sangat cantik. Tapi, oh, di antara rimbunan kehijauan, ada lahan gundul yang luas sekali. Batang-batangnya dipotong hingga tersisa sedikit saja. Hei, bukankah mereka memerlukan batang-batang itu terus tumbuh untuk kelangsungan hidup mereka. Lalu aku lihat sebuah pulau di bawah, memanjang dari barat ke timur. Di ujung barat sana menyeruak aroma tak sedap, muncul dari timbunan barang dan makanan bekas. Bagaimana orang-orang itu bisa hidup sangat dekat dengan timbunan itu.

Di daerah pegunungan tidak jauh dari situ kulihat bangunan tua berkubah. Di dalamnya ada alat peneropong yang cukup besar. Wah, ini alat yang banyak terdapat di tempat asalku, hanya saja di tempatku jauh lebih besar dan canggih. Tapi alat seperti ini ditempat asalku biasanya diletakkan di tempat tinggi dan gelap agar tidak terkontaminasi oleh cahaya kota. Tapi ini? Terang sekali disini. Apa yang hendak mereka lihat?

Lalu aku ke Barat, singgah di kota Amburadul. Jalanan dipenuhi mobil-mobil merayap pelan, diiringi sahutan suara bel. Di dalamnya orang-orang berwajah tegang. Lalu kususuri sungai hitam di kota itu, di kanan-kirinya penuh rumah papan. Kontras sekali dengan bangunan-bangunan di daerah padat mobil tadi. Dari satu rumah papan, kudengar seorang anak menangis sendiri di atas bantalnya yang lusuh. Satu tangannya menggenggam surat tagihan empat bulan iuran sekolah. Aku tak tahan lagi dan bergegas pulang. Di hadapan Dewan Bijak yang tampak telah mengetahui sebab kesedihanku, aku tak kuasa menahan tangisku. Aku ingin sekali membantu mereka. Seandainya saja aku makhluk Bumi, apa saja warnaku, aku akan mensyukuri hidup di Bumi yang paling nyaman dan tidak melakukan hal-hal buruk seperti yang sering kulihat disana. Kasihan mereka.